Novel–Lilly’s Like Lot (Part 1)

SATU

“Kamu melihat karangan bunga di sepanjang lobi?” pertanyaan tersebut mengagetkan Lilly yang sedang melamun. Lilly menyapu keringat yang mengalir pelan di dahinya sambil terus mengepel lantai di tangga darurat. “Bukan hanya di lobi, tapi juga di depan Vicenz Estate penuh papan bunga ucapan.” Terang gadis itu lagi. Tapi tampaknya Lilly tidak terlalu tertarik.

“Kamu benaran tidak lihat?” tanyanya lagi tak putus asa. Lilly menggeleng. “Aku datang pagi sekali hari ini.” Jelasnya. “Oh pantas saja, tadi memang belum ada. Tapi coba kamu keluar hotel ini sudah disihir menjadi taman bunga.” Kagumnya. “Keluarlah Lilly. Pergi lihat kamu akan menyesal jika tak kesana. Ayo.” Ajaknya lagi semangat.

“Nanti saja waktu pulang.”

“Ayolah Lilly.”

“Elle kita harus menyelesaikan ini dulu.” Lilly memandang Elle mengisyaratkannya untuk membersihkan ruangan itu. Akhirnya Elle menurut.

Vicenz Estate adalah hotel termewah di kota San Tequille. Bangunannya megah berwarna gading dengan ornamen-ornamen klasik. Di kawasan itu juga terdapat beberapa pusat belanja barang-barang branded dengan restoran Italy yang terdapat di beberapa pinggir jalan.

Sungguh keberuntungan bagi Lilly bisa bekerja di sana, meskipun hanya sebagai seorang pekerja kebersihan di hotel itu. Elle sudah di sana sejak tiga tahun yang lalu. Mereka teman satu sekolah di SMP. Elle merekomendasikan Lilly. Ya, meskipun hanya untuk menjadi seorang cleaning service ia harus mengikuti tes. Tapi, yang penting ia dapat bekerja.

“Lilly…” panggil Elle sambil mengumpulkan sampah ke dalam sebuah box.

“Ya.”

“Kamu tahu karangan bunga itu untuk siapa kan?” Elle tampak antusias. Lilly hanya diam saja.

“Kamu sungguh tidak tahu? Ya ampun Lilly yang ini kamu harus tahu…” Mata Elle melebar tandanya dia sedang sangat tertarik untuk membahas suatu hal.

“Tidak. Aku tidak tahu. Memangnya untuk siapa?” Lilly menunjukkan keingintahuannya untuk menyenangkan hati Elle.

“Kamu tak tahu. Oh my God Lilly, kamu kemana saja.” Elle menepuk kepalanya sendiri tak habis pikir.

“Mana mungkin Vicenz Estate begitu surprisenya jika bukan akan kedatangan tamu istimewa, mengerti?”

“Dan kamu tahu siapa tamu istimewanya hah…” wajah Elle sumringah.

“Albert Archer, Lilly. Albert Archer.” Pekik Elle sambil melompat-lompat.

“Jangan bilang kamu tidak kenal Albert Archer.” Curiga Elle memicingkan mata.

“Kamu kenal dia kan?”

“Yaaa…aku pernah dengar namanya.” Senyum Lilly.

“Bagaimana bisa kamu cuma tahu namanya. Dia itu sangat terkenal sayang. Semua selebriti muda tergila-gila padanya. Dia pengusaha terkeren yang pernah kulihat di dunia.” Elle berputar-putar berdansa kesana-kemari.

“Setidaknya aku tahu namanya.”

“Itu tidak cukup Lilly. Di saat semua orang tahu apa makanan kesukaannya, tempat liburan langganannya, produk yang sering ia pakai, siapa saja wanita yang pernah dikencaninya. Kamu bahkan tidak tahu bagaimana wajahnya. Oh Lilly, kamu tinggal di planet mana.”

“Oh ya, jangan lupa warna dalaman favorit .” Goda Lilly sambil tertawa.

“Ya, jika aku tahu. Sayangnya itu tak pernah diungkapkan dalam majalah atau semacamnya.”

Lilly hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan Elle yang mulai menghayal.

“Hemm, Jika bertemu aku akan minta tanda tangannya dulu atau berfoto dulu ya?” pikir Elle.

“Bagaimana jika tidak dua-duanya. Mungkin dia tidak seramah itu. Mungkin dia orang yang tidak suka diganggu.” Lilly memicingkan matanya.

“Mana mungkin. Aku tahu Albert Archer orang seperti apa. Dia orang yang baik.” senyum Elle menampakkan giginya.

“Ya, baiklah.”  Ucap Lilly sambil beranjak. Ia tak melihat ember berisikan pel dan menabrak benda itu hingga semuanya tumpah.

“Lilly, kamu kenapa?” Elle shock melihatnya.

“Entahlah, kepalaku pusing sekali.”

“Wajah kamu pucat. Duduklah!” Elle mendekati Lilly dan menuntunnya untuk istirahat.

“Benar, kamu panas, kamu demam ya?” Elle tampak khawatir. “Ya sudah, kita klinik sekarang.” Katanya sambil menarik Lilly mengikutinya.

“Aku tak apa-apa, kamu tak perlu seperti itu.” Senyum paksa Lilly untuk meyakinkan Elle.

“I’m Okay.”  Ucap Lilly lagi.

“Ya, kamu tetap harus diperiksa.”

“Cuma demam biasa, nanti juga berkurang Ok!” 

Lilly bangkit sambil membenahi perlengkapan. Baru berjalan dua langkah tiba-tiba matanya berkunang-kunang dan ia jatuh ke lantai. Kali ini gelap, ia tak mampu menegakkan tubuhnya lagi. Hanya suara panggilan namanya yang mampu ia dengar yang perlahan hilang dan ia benar tak mengetahui lagi apa yang terjadi sesudah itu.

                                                  Image

(Sincerely–Me–Lilly)

Enjoy my story!!!